Bajidoran adalah bentuk kesenian rakyat yang tumbuh dan berkembang di kawasan pantai
utara (pantura) Jawa Barat, khususnya di daerah Subang dan Karawang. Musik
pengiringnya adalah seperangkat gamelan yang pada umumnya menggunakan laras
salendro, sering di pentaskan oleh penyelenggara atau biasa disebut pamangku
hajat, mengiringi pesta syukuran inisiasi (kelahiran bayi, khitanan,
perkawinan), atau acara syukuran lainnya yang berkaitan dengan upacara-upacara
ritual (hajat bumi, panen, menyambut, datangnya hujan, bersih desa, dan lain
lain).
Daya tarik
kesenian ini ada pada sosok sinden atau ronggeng yang digandrungi oleh para
bajidor, istilah bagi orang yang gemar menari atau ngibing di pakalangan (arena
pertunjukan). Memesan lagu, serta memberi uang saweran. Oleh karen aitu,
keseniannya pun diberi nama Kliningan Bajidoran atau Bajidoran saja. Sedangkan
kata kerjanya menjadi ngabajidor.
Kesenian bajidor itu, terutama di daerah Subang, secara sinis populer dengan akronim dari
barisan jiwa doraka (barisan jiwa durhaka), menunjukan pada perilaku para
penggemar Kliningan Bajidoran yang cenderung menghalalkan segala cara di arena
pertunjukan mulai dari menghambarkan uang saweran, menenggak minuman keras,
hingga merayu serta mengekspresikan hasrat seksual kepada sinden atau ronggeng.
Konon, istilah bajidor datang datang dari H. Hilman (alm) mantan lurah pagaden, yang pada
zamannya terkenal sebagai penggemar fanatik Kliningan Bajidoran dan kemudian
mempersunting sinden kenamaan pada zamannya, Cucun Cunayah, Akronim bajidor
yang lain dan tak kalah sinisnya adalah abah haji ngador (abah haji keluyuran),
karena banyknya bajidor yang bergelar haji. Sedangkan menurut tokoh rekaman
lagu Sunda, Tan Deseng, bajidor itu akronim dari beberapa kesenian rakyat yaitu
banjet, tanji, dan bodor.
Dalam
pratiknya, sinden atau ronggeng sangat piawai menggoda dan merayu bajidor agar
mau manghamburkan uangnya. Meraka akan merayu dengan cara menyebut-nyebut nama
bajidor di sela-sela alunan lagu yang di dendangkannya atau merayu dengan
bahasa tubuhnya yang di ekspresikan melaui gerakan-gerakan tarian, senyuman,
tatapan mata, sentuhan tangan, serta perilaku-perilaku lainnya. Melalui
cara-cara itulah seorang bajidor akan terus melakukan saweran hingga uangnya
terkuras habis.
Intensitas hadir di panggung pertunjukan dan memberi uang saweran, telah menciptakan pola
interaksi yang khas antara bajidor dengan sinden atau ronggeng. Biasanya,
bajidor akan memberi uang saweran dengan berbagai motivasi, mulai dari motivasi
harga diri karena namanya disebut sebut oleh sinden, ingin dipandang mampu
secara ekonomi, ingin mendapaat pujian, hingga orientasi hasrat seksual dan
menguasai sinden atau ronggeng. Pada taraf ini, bajidor datang ke arena
pertunjukan Kiliningan Bajidoran karena di topang oleh kesetiaan kepada sinden
atau ronggeng idolanya yang dalam istilah mereka disebut “langganan”. Inilah
yang melandasi adaya hubungan yang lebih jauh di antara mereka, dan pada
akhirnya tidak sedikit bajidor yang tergila-gila kemudian menikah dengan sinden
atau ronggeng, bahkan bisa sampai melupakan anak dan istrinya.
Memerhatikan
bagaiman seorang bajidor melakukan saweran kepada sinden yang dipilih melebihi
sekedar memberikan lembar demi lembar uang ribuan, ekpresi di wajahnya
memancarkan gelombang birahi dan kerinduan yang sangat dalam kepada sinden
pujaan. Sementara itu, sang sinden pun membalasnya dengan senyuman dan tatapan
yang di maknai secara liar oleh sang bajidor, sehingga menstimulasinya untuk
terus merogoh isi kantung. Saweran adalah interaksi sinden atau ronggeng dngan
bajidor yang memiliki simbol-simbol makna tertentu yang menunjukan tingkat kedalaman
hubungan antara sinden/ronggeng dengan bajidor.
Eksistensi
Kliningan Bajidoran itu sendiri di sangga oleh tiga kelompok sosial pendukung, yaitu
sinden/ronggeng yang menjadi daya pikat pertunjukan bajior sebagai penonton
yang akan memberi uang saweran, dan pamangku hajat sebagai penyelenggara
pertunjukan yang memfasilitasi adanya interkasi antara sinden/ronggeng dengan
bajidor.
0 coment: